Ritual itu mulai dilakukan sebab mahluk tak kasat mata, yang dipercaya sebagai penunggu Waduk Cacaban, mengajukan syarat pengarakan kepala kerbau, dan penenggelaman di waduk, dengan diiring doa, sebagai ganti tumbal manusia.
"Siang, sewaktu ritual. Kepala kerbau diarak, kemudian malam didoakan. baru paginya ditenggelamkan," kata Ketua Adat dan Budaya Pudjo Kasripin.
Pria dengan uban sebagai hiasan kepalanya itu bercerita bahwa setidaknya ada 2 mahluk tak kasat mata, yang turut menjadi penghuni waduk di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah itu. Mahluk itu biasa dia panggil sebagai Mbah Santi dan Brahma Sumandara.
Tapi tak semuanya jahat, kata Pudjo, hanya Brahma Sumandara yang kerap meminta tumbal manusia. Sedangkan si Mbah Santi, menurut Pudjo, hanya bertugas sebagai pemberi pesan saja melalui mimpi, bila si Brahma Sumandara meminta tumbal. Pudjo sang juru kunci jadi mediator.
Menurut Pudjo, pernah sewaktu-waktu sebelum 2002, ada beberapa orang yang dengan sengaja tak masuk Waduk seluas 928,7 hektar itu tanpa membayar retribusi. Orang itu berakhir dengan nyawa meregang. "Sebelumnya, saya dapat mimpi 3 yang akan jadi tumbal. Akhirnya kejadian," ujar Pudjo.
Akhirnya, negoisasi dilakukan. Doa-doa dipanjatkan melalui ritual. Kepala kerbau jadi persembahan untuk menolak bala. Menurut Pudjo, sejak dilakukan ritual itu pada 2002, tumbal manusia tak pernah diminta lagi. Namun, dia tetap mengimbau kepada seluruh pengunjung, atau waga sekitar, untuk berperilaku sopan dan tidak bertingkah diluar kewajaran.
0 komentar:
Posting Komentar