Cerita ini bermula pada waktu penjajahan jepang di Indonesia, tersebutlah seorang wanita yang berasal dari keluarga petani miskin namun bernorma.
Awalnya dia adalah gadis baik2 dann menikah dengan petani baik2 pula, tak ada hal istimewa dari kehidupan mereka selain diselimuti kelaparan dan ketakutan akibat penjajahan seperti halnya penduduk yang lain, hingga wanita itu mengandung anak pertamanya dan tanpa sepengetahuan siapapun dia sembunyikan oleh suaminya ke dalam hutan belantara demi keselamatan istri dan calon anaknya.
Di dalam hutan sang istri dibuatkanlah rumah kecil berdinding gedhek(anyaman bambu), dan disana sang istri hanya dibekali sebuah tikar, 4 potong ubi mentah dan sepotong bambu berisi air minum, maka tinggallah dia sendirian sedangkan suaminya kembali ke desa agar tak dicurigai oleh pihak penjajah. Ketika ditanya para penjajah petani itu hanya mengaku istrinya minggat(kabur) kekota, sehingga penduduk menganggapnya sebagai wanita nakal/sundel (bahasa kasar untuk wanita nakal).
Setiap hari sang suami yang merupakan petani melakukan kegiatan serupa dan berulang seperti petani lainnya, namun setiap seminggu sekali petani itu akan pergi mengendap2 dimalam hari untuk menengok istrinya dan membawakan ransum(makanan bergizi) sehingga istri dan anak dalam kandungannya sehat.
Hingga pada bulan ke delapan minggu kedua si petani mengunjungi rutin istrinya namun sang istri tidak ada didalam gubuknya, hingga dicarinya disekeliling dan sekitaran gubuk hingga secara mngejutkan didapatinya tubuh sang istri tertelungkup membiru di tanah tanpa sepotong kainpun menutupi jasadnya dan tubuhnya seperti tercabik-cabik selayak bekas dimakan sekawanan hewan buas di bagian tengkuk leher hingga punggung bawahnya.
Dalam tangis dan jeritnya si petani membalikkan jasad istrinya hanya untuk memastikan bahwa itu bukanlah seperti dugaannya, tapi ternyata itu benar2 jasad istrinya tercinta yang sedang memeluk anaknya yang juga membiru dan masih berlumuran darah dari sang ibu.
Ternyata siang tadi sang istri telah melahirkan dengan seorang diri berjuang antara hidup dan mati akan tetapi darah persalinan dan tangisan sang jabang bayi telah menjadi undangan tak resmi bagi hewan2 pemangsa penghuni hutan yang terus berdatangan dan mendesak masuk ke dalam gubuk renta itu dan memaksa sang ibu bangkit dengan sisa tenaga terakhirnya mencoba berlari menyelamatkan anak putri dan dirinya dimalam buta tapi tenaganya tak lagi ada setelah persalinan dan terjatuh memeluk putrinya erat dan membiarkan dirinya menjadi mangsa asal putrinya selamat tapi apa daya udara terlalu dingin malam itu bagi si jabang bayi hingga jabang bayi menemani ibunya berjumpa illahi.
Semenjak hari itu para penduduk tidak pernah melihat si petani malang itu, menurut kabar yang beredar dia pergi ke suatu tempat yang jauh. Tiba suatu malam setelah si suami pergi, rumah peninggalannya terlihat penampakan sosok arwah istrinya yang pulang ke rumah mereka dan menyapa para penduduk dengan lengking tangis dan punggungnya yang membusuk sehingga terlihat berlobang/bolong dan duduk di muka rumah sambil menggendong putrinya yang tinggal kerangka. Hal itu terjadi setiap malam dan menghantui penduduk sekitar.
Demi keamanan desa maka penduduk bermusyawarah dan akhirnya penduduk mencari jasad sang istri yang masih didalam hutan dan ditemukan yang tersisa hanyalah tulang dan sisa kulit yang telah mengering ditutupi lumpur dan dedaunan. Penduduk kemudian menguburkannya secara layak di pemakaman desa dan penduduk mendoakan supaya arwah sang istri dan bayinya diterima sang illahi. Dan sejak saat itu masyarakat tidak lagi dihantui oleh arwah sundel bolong tersebut
0 komentar:
Posting Komentar