Kisah ini sudah lama sekali aku dapatkan dari salah seorang teman bernama Hesti dari Kota Kendal.
Di sebuah desa kecil tak jauh dari Kota Kendal. Seorang perempuan paruh baya penjaja tape. Sebut saja namanya mbok Mirah. Setiap jam 4 pagi, beliau sudah membawa pikulan berisi tape dan berjalan menuju ke pasar Kendal. Pada waktu itu angkutan desa belumlah seramai sekarang.
Mbok Mirah memiliki tubuh agak pendek, dan selalu berjalan agak menunduk karena beban pikulan yang ada di punggungnya. Setiap hari beliau selalu melalui jalan yang sama, yaitu jalan setapak dengan hamparan sawah di sebelah kanan dan kiri. Namun pagi itu mungkin menjadi pagi yang tak akan pernah dilupakan oleh mbok Mirah.
Mbok Mirah berjalan riang sambil sesekali bersenandung untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk kulit tubuhnya. Dia sudah terbiasa seperti ini. “Semoga hari ini tape-ku laris”, doanya selalu. Tak jauh dari tempat dimana dia berada, sesosok wanita dari kejauhan melambaikan tangannya ke arah mbok Mirah. “lho, itu siapa ya? kok manggil-manggil. Apa mau beli tape?” pikirnya kebingungan. Mbok Mirah menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak ada seorangpun disana selain dirinya. Tanpa ragu mbok Mirah menghampiri wanita tadi.
“Mau beli tape, mbak?” tanya mbok Mirah sambil menurunkan pikulannya.
“Iya. Saya beli 40 mbok.” Jawab wanita itu lirih. Sambil memilih milih dan membungkus tape, mbok Mirah bertanya ke wanita tadi.
“tinggal dimana mbak?” lanjut mbok mira mencoba beramah tamah dengan pembelinya.
”disana” ujar wanita itu sambil menunjuk ke arah seberang persawahan.
Mbok Mirah mengernyitkan kening. Setau saya disana kan pemakaman umum. Apa mungkin ada kampung ya di sebelahnya batin mbok Mirah bingung.
“kok pagi-pagi banget udah jalan sampe sini tho, mbak? apa ndak takut dimarahin orangtua?” tanya mbok Mirah tanpa curiga.
“setelah beli tape langsung pulang kok.” jawab wanita tadi dengan suara lirih.
“ooo….tak pikir mau pergi jalan-jalan. Jenenge sinten(namanya siapa) tho mbak’e?” tanya mbok Mirah yang masih sibuk mengambil dan membungkus tape.
“namaku TI NGI POK NYAR.” Jawab wanita tadi sambil sedikit mengeja per suku kata. Bertambahlah kebingungan mbok Mirah atas jawaban dari wanita itu. Beliau mencoba mencari arti dari nama aneh yang baru saja dia dengar berdasarkan primbon jawa (mbok Mirah masih menganut pada hal-hal kejawen).
Baca Juga : Legenda Misteri Dewi Lanjar Penguasa Laut Utara Pekalongan .
Karena penasaran mbok Mirah bertanya apa arti dari nama TI NGI POK NYAR. Dan jawaban dari wanita tadi sangat mengejutkan mbok Mirah “mosok ndak tau tooh mbok artinya. TI NGI POK NYAR artinya maTI wiNGI dikaPOK aNYAR”. (apabila diterjemahkan " kemarin meninggal dan baru saja di beri kapas penutup mata & hidung pada mayat").
Seperti tersengat listrik mbok Mirah mendengar penjelasan dari wanita misterius barusan. Secara otomatis beliau menengadahkan kepalanya dan melihat wajah wanita tadi berkulit pucat dengan mata dan hidung tertutup kapas. Tanpa berpikir dua kali mbok Mirah lari secepat kemampuannya dan meninggalkan bakul tape di dekat wanita tadi yang tertawa dengan suara melengking.
Mbok Mirah berlari menuju perkampungan terdekat. Tanpa berani menoleh ke belakang, beliau terus berlari hingga menemukan seorang wanita muda yang sedang menyapu di halaman rumahnya. Dengan panik dan nafas tersengal mbok Mirah meminta ijin kepada wanita muda itu untuk beristirahat dan meminta minum. Wanita muda yang bernama Hesti, mempersilahkan mbok Mirah duduk di teras rumah lalu memberinya segelas air putih.
Hesti memandangi mbok Mirah yang duduk berkeringat di sampingnya, “Ibu dari mana? Kok lari-lari sampe kehabisan nafas gitu. Habis olah raga?” tanya Hesti polos. “waduuuh, mbak’e… aku tadi ketemu setan perempuan. Kupikir mau beli dagangan tape-ku. Ternyata aku ditakut-takuti kayak gini.” Dengan sisa tenaga mbok Mirah menceritakan dari awal hingga dia berlari ketakutan karena melihat penampakan tadi. “Lalu dagangan ibu sekarang dimana?” tanya Hesti kebingungan. “yaa.. ku tinggal disana. Aku ndak berani ambil kesana kalo ndak ditemenin. Mbak’e temenin aku ya.” pinta mbok Mirah kepada Hesti.
Hesti menganjurkan mbok Mirah untuk kembali ke tempat kejadian setelah agak siang. ± jam 9 pagi, Hesti mengantar mbok Mirah dengan mengendarai motor. Dari kejauhan mereka masih melihat bakul tape mbok Mirah berada di tempat terakhir dia meninggalkannya. Mbok Mirah menghampiri bakul tape sambil menoleh ke kanan dan ke kiri “jangan-jangan setan tadi sembunyi dibalik pohon” pikirnya ketakutan.
Hingga tiba di hadapan bakul tape yang tertutup oleh daun pisang, mbok Mirah mengangkatnya dan merasa keheranan, “lho, kok bakulku enteng banget?!” katanya pada Hesti. “coba dibuka dulu mbok, mungkin ada yang ambil tapenya tadi.” Terang Hesti menenangkan. Mbok Mirah membuka daun pisang penutup bakul dihadapan Hesti dan berteriak tertahan “Astaghfirullah!!!” sahut mereka berbarengan saat melihat ternyata semua tape yang seharusnya ada di dalam bakul telah tergantikan oleh kapas dengan bercak darah dan belatung. Sontak mbok Mirah menangis dan meninggalkan bakul tapenya di pingir jalan tadi. Akhirnya mbok Mirah yang malang tidak jadi berjualan hari itu dan memilih untuk pulang ke rumahnya.
Baca Juga : Hantu Wewe Gombel dan Gendruwo Penghuni Tanjakan Gombel ...
0 komentar:
Posting Komentar